HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Kamis, 11 November 2010

Hidup adalah metamorfosa

Dulu aku bukan siapa-siapa. Hidup tak ubahnya seperti daun kering terbawa arus air kali di belakang rumahku. Mengalir dia tak berujung. Aku bisa terombak dahsyat. Tapi aku juga bisa diam di tepian kedung (bagian sungai yang membentuk telaga besar di kelokan). Bahkan kadang aku tersesat dalam goa-goa kecil tebing kali cemara.
Dulu aku tak berpikir mau jadi apa. Aku lakukan yang aku suka. Sekolah miskin prestasi akademi kecuali bidang kesenian. Bahkan untuk masuk kelas 2 Fisika saja, aku harus melalui tes remidiasi mata pelajaran Fisika. Aneh? Maksa banget. Tapi itulah aku. Hampir tak ada rintangan yang bisa kulalui. Bukan karena aku congkak kepada dunia. Tapi Tuhan Maha Sayang, meski tak pintar tapi aku cerdas. 

Karena 1 tambah 1 yang menghasilkan angka 2 dalam ilmu matematika, tak berlaku bagiku. Karena bagiku 1 tambah 1 adalah tak berhingga. 
Hitungan matematika bagiku hanya membodohi aku. Karena aku percaya, angka 2 sesungguhnya hanya 1 angka awalan bagi hasil dari penambahan angka 1 dengan angka 1. Dibelakang angka 2 bisa puluhan, ratusan, jutaan, milyaran angka. Sesungguhnya semua isi alam semesta ini milik Tuhan. Dan Tuhan adalah Maha Gaib. Dia mempunyai rahasia di belakang angka 2. 
Memasuki kelas 3 akhir, aku pun masih seperti daun kering yang tersapu riuh air kali. Jaman dulu ada berlaku ketentuan 5 hari kerja/jam sekolah. Berangkat pagi pulang jam 4. Sungguh menyiksa karena aku tak pintar. 
Suatu sore aku pandangi bingkai kotak berwarna putih kekuningan dan hitam. Ah, aku harus menjadi raja pikirku. Membunuh satu jam istirahat di sekolah. Guru-guru yang seenaknya membuat jadwal dan peraturan ketat harus kumakan dengan kuda, beteng, menteri, wakilku, atau kutelan saja dengan pionku bulat-bulat. 
Sampai di sekolah tepat waktu istirahat kugelar permainan catur di atas meja pojok kelas. Ku goda beberapa teman untuk bermain. Dan hasilnya luar biasa. Dengan kecerdasanku aku bisa menciptakan suasana istirahat yang menyenangkan. Bahkan kadang aku makan siang di kantin sekolah tanpa bayar sepersen pun. Karena aku menang pertandingan. Aku kadang tertawa lebar sekarang mengingat hal itu. Sungguh memalukan.
Satu bulan asyik masuk melakoni ajang pencarian bakat pemenang catur. Tiba-tiba datang guru Fisikaku, namanya Pak Fajar, pada suatu siang. Dia kelihatan marah sekali. Karena waktu istirahat yang seharusnya sudah berakhir, kami gunakan untuk ajang perang final.
Guruku yang berjenggot itu tiba-tiba menyerobot papan catur hingga semua bececeran, kemudian berjalan ke luar kelas. Anak-anak juga terbelalak. Semua diam ketakutan. Karena memang Pak Fajar adalah guru killer di SMA ku.
Huh, dasar! Aku mengaum. “Kecu, maling, rampok, kecu, maling, rampok, raaaaaaaaaampok!!!” Aku mendesah kemudian berteriak keras sambil diikuti teman-teman yang lain. 
Gaduh satu kelas meriakkan maling… maling… rampok… rampok… .

Akhirnya satu minggu kemudian. Aku dijemur dilapangan tengah sekolah. Menjadi seorang terdakwa pembuat keonaran sekolah. Aku harus meminta maaf dengan Pak Fajar yang berambut keriting itu. 
Aku benci dia… . Tapi apa kata. Dengan di dampingi Pak Arju, guru Pembimbing Penyuluhan ku yang sekarang telah menjadi seorang ustad, aku menandatangi surat perjanjian kelakukan siswa. 

Pak Fajar absen selama 3 bulan mengajar, padahal EBTANAS sudah mulai pasang kuda-kuda di depan pintu. Hah, aku harus menanggung semuanya. Hem, aku harus berpikir keras bagaimana bisa mendapat maaf Pak Fajar, kata wali kelasku. Tapi dasar aku, seperti biasa, aku menyerah saja pada aliran kali di belakang rumahku. Tak kupikir. Ku biarkan saja. Walau aku harus putus dengan pacarku yang ada di SMA 1 kota, karena ketahuan aku memacari anak sekelasku untuk mendongkrak semua nilai-nilaiku.
Maafkan aku yang mbak T.

Memasuki jenjang kuliah.
Ah, tak ada planning serius untuk kuliah dimana. Ayah dan Ibu sibuk mengurusi bisnis keluarga, tak ada kakak lelaki, membuatku kembali menjadi daun kering. 
Alih-alih berujung menjadi seorang dokter. Terbayang hidup dengan sebuah cita-cita saja tidak.
Ya sudahlah… . Tanpa kenal basa-basi aku menerima ajakan temanku untuk sekolah di kapal persiar. Dengan kemampuan bahasa Inggris-ku yang cas cis cus. Aku diterima dengan tangan terbuka oleh Pak Wahab-walau kemudian dia menjadi musuhku-.
Aku dalami ilmu housekeeping, food and baverage, dan ilmu floating course lainnya.
Tapi dasar aku belum beruntung. Tidak genap merampungkan masa kuliah aku sudah dipertemukan dengan kejanggalan-kejanggalan dengan sikap Pak Wahab. Dia menipuku. Hah, you are so ugly person dude… ! But anyway thanks to you.


Ups, ada UMPTN. Asyik-asyik… !!
Untuk pasang target, karena aku tak pintar, aku masuk PRIMAGAMA di sebuah kota besar. Maksudku biar dapat rumus-rumus praktis dalam menjegal kesulitan di ajang super duper Umpetan. 
Satu tahun berlalu… . Dan akhirnya UMPTN pun berlalu. Dasar ONENG. Aku tidak ketrima. 
Ya sudahlah… .

Suatu hari aku melintas di depan gerbang sebuah universitas Islam swasta di daerah perbatasan. Ah, aku pengen ke sana. Aku pengen jadi guru ngajar di SMA. Guru bahasa Inggris. 
Tapi OM-ku menyarankan yang lain. Aku akhirnya memilih progdi manajemen di univ yang sangat amat tidak bonafide. Karena OM-ku kenal dengan petinggi di sana. Ku jawab… Ya sudahlah… .

Awal masuk kuliah. Aku kecelakaan. Tapi kecelakaan itu mengubah duniaku. Terjadi gegar di otakku. Dokter mengatakan, “Anak ibu bisa mengalami penurunan daya ingat atau malah sebaliknnya.”
Hah, gila ini! 
Tapi sungguh Tuhan Maha Baek. Tiba-tiba seluruh potensi diriku terangkat dan berbalik 180 derajat. Aku menjumpai cara pemikiran yang lain dalam otakku. Meski ada sebagian memori yang tidak bisa kuingat lagi sekarang. Walau jaman dulu sangat hafal di luar kepala. 

Indek Prestasi di bangku semester pertama 3.89. Busyet@@@!!! Rangking dua di bawahku hanya berkisar 2.5. Aku teringat dengan dosen matimatika-ku. Dulu yang aku dodol minta ampun. Sekarang dia bertekuk lutut di depanku. Dia dosen senior dari Univ di Bangka. Anehnya, setiap ada kuis di depan kelas, sebelum aku mengiyakan apakah proses matematika itu benar, beliau tidak melanjutkan perkuliahan… . Hahahaha. Ada apa dengan ku???-

Ibarat aku menjadi mahasiswa bintang waktu itu. Dengan kemampuanku mengolah vokal. Dan tampangku yang lumayan tidak mirip dengan orong-orong. Aku bisa dekat dengan rektorat. Hobiku jadi pagar bagus tiap ada hajatan petinggi rektorat. Jual suara dimana-mana. Sempat kesengsem dengan salah satu penyanyi lainnya walau ditolak. Sian banget aku.
Tapi rupanya ketenaran tidak membuat aku puas. Ada sesuatu yang aku cari dan ingin buktikan. Tapi belum aku temui. 
Dan ada satu hal yang membuat aku muak. Aku dikuntiti dengan satu dosen pecinta jenis. 

Akhir semester dua di universitas upluk-upluk. Aku tambah stres dan semakin dengan istilah fly… ekstasi. Hah membuat aku semakin limbung. Hidup dikelilingi dengan teman-teman pecandu.

Suatu malam aku berdiskusi dengan ayahku. Bahwa aku mau pindah kuliah. Tak jauh-jauh dari tempat kuliahku. Tanpa banyak cingcong, emang ayah sangat manjain aku. Beliau mengiyakan.

Tepat hari rabu, entah tanggal berapa. I Have to choose di antara dua pilihan.
Aku harus mengikuti ujian semester dua, sedangkan aku juga telah menandatangi formulir pendaftaran mahasiswa baru jurusan Manajemen Informatika Perbankan di sebuah college dan pada jam itu juga aku harus ikut tes masuk perguruan tinggi itu.
Aku berhenti di perempatan. Duduk di bawah pos ronda. 
“Jika aku belok kanan, aku akan menjadi mahasiswa teladan dengan miskin tantangan. Tapi jika aku mengikuti jalan lurus ini. Aku akan bertemu dengan wajah-wajah baru. Dan mungkin aku bisa lebih optimal lagi.”
Dan akhirnya… . Aku mengambil langkah baru. Aku mulai bisa menghilangkan kebiasaanku menjadi daun kering yang tunduk pada seringai kali di belakang rumahku.

AKU BISA MENJADI DIRIKU SENDIRI. Meski sang dosen penyukaku tekah menyediakan beasiswa supersemar hingga semester-semester berikutnya. 

Wah, di tempat yang baru aku bisa menjadi, mengenal, memahami siapa aku. Aku sangat senang dengan rumah baruku. Hidupku berwarna indah. Aku senang. I’m glad buat ngejalaninnya. Hingga keputusanku berbuah manis. Meski perih menyayat hidupku.

Di akhir masa kuliahku. Aku menyandang mahasiswa berprestasi se angkatanku. Berhasil membawa harum civitas akademiku di dunia luar. Aku bangga menjadi seorang aktifis mahasiswa. Sangat bangga.
Meski deraan ujian hidup bersama keluarga mulai menampakkan taringnya.
Disaat aku harus kehilangan segalanya bahkan rumah tempat aku dibesarkan. Dan terusir dari kampung halamanku. Aku mencoba ‘menerima’.

Pernah dengan berbekal uang limaribu rupiah. Aku harus berangkat ke kampus. Karena ayahku tak punya apa-apa lagi. Sampai di kampus aku terdepak ke ruang senat dengan airmata duka. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku bisa hidup dengan uang limaribu yang telah aku gunakan sebagian untuk membayar ongkos bis. Padahal hari rabu pada minggu itu aku dipercaya sebagai ketua panitia talkshow nasional yang mengundang dokter Boyke dari jakarta.

Tapi aku tetap pada prinsipku. Satu ditambah satu bukan menghasilkan angka dua. Dengan kuasa Tuhan, ada saja orang yang memberiku support hingga aku berhasil melampaui masa tersulit dalam hidupku waktu itu. Hidup dalam diam.

Kepintaran tak mutlak diperlukan. Tapi kecerdasan adalah anugerah sang Maha Karya yang harus dioptimalkan. 

INILAH TAHAP METAMORFOSA HIDUPKU JILID SATU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP