HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Jumat, 12 November 2010

Kenapa Kalian Tinggalkan Ibu, Nak? (Tulisan Kecil untuk Aslam, Aiman, dan Arham)

Sepeda tua pak Shabri perlahan merayap keluar dari kampung Tirtasari. Lelaki berusia 35 tahun itu saban sore selalu berkecipak di jalanan penuh kerikil menuju kerumahnya. Dia adalah seorang tukang pelihara itik pocokan di rumah Pak Haji Ahmad. Yah, Tirtasari adalah sebuah kampung yang terkenal dengan penghasil itik petelur di Kecamatan Sorodenen.



Beribu kayuh melaju. Kampung Tirtasari hanya terlihat laksana titik hijau kehitaman, di daerah persawahan yang luas. Dengan nafas terengah, sesekali pak Shabri membetulkan letak bambu panjang mirip pancing yang disampirkan di pundaknya. 
Setengah jam lebih melaju, tampak di depan sebuah jembatan panjang yang melintang di atas kali Mambu. Pertanda ia akan segera sampai di rumah kecilnya. Rumah mungil yang terletak di pinggir jalan besar. Sebuah istana kecil berukuran 5 × 7 meter kebanggaannya, yang ia huni bersama istri dan tiga jagoan kecilnya. Si Aslam yang baru tiga bulan dilahirkan oleh istrinya tercinta, si Aiman yang duduk di kelas 1, dan si sulung Arham yang duduk di kelas 5. Aiman dan Arham duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Negeri Desa Babadan, tidak jauh dari rumah mereka.



Assalamu’alaikum ...,” sapa Pak Shabri setelah merebahkan sepeda tuanya di tritisan sebelah rumah. 
Rumah itu berdinding kayu, terapit dua bangunan besar. Mempunyai satu kamar dan beberapa perabotan sederhana. Toko bangunan pak Dullah berada di sebelah kanan rumah. Sementara di sebelah kiri rumah pak Shabri berdiri megah stasiun pengisian bahan bakar bercat merah menyala. Namun bagi pak Shabri rumahnya sudah teramat luas untuk bernafas bagi keluargannya.

Wa’alaikumsalam warrahmatullah,” sambil menggendong Aslam, bu Siti membukakan pintu. Dengan tulus Pak Shabri mendaratkan kecupan mesra di kening bu Siti. Bu Siti mengandeng lengan suaminya untuk masuk ke dalam rumah. 
“Oh ya Bu, ini ada titipan dari Pak Haji, untuk anak-anak katanya.” Pak Shabri sambil merubuhkan tubuhnya di tikar pandan tua.
Masya Allah, apa ini Pak.” Bu Siti menggeledah tas plastik hitam pemberian Pak Haji yang terkenal dermawan.
Alhamdulillah. Ini ada tiga potong pakaian untuk anak kita. Alhamdullillah... Ya Allah, matursuwun.” Bu Siti kemudian memeluk suaminya yang masih berpeluh. 
Berhambur dari pintu depan si Aiman dan si Arham yang baru pulang ngaji dari masjid Nurul Hikmah dekat pasar Babadan. 
“Aiman, Arham sini. Ibu cobain baju baru. Sini... sini.” Dengan wajah ceria Ibu Siti menciumi kedua anaknya.
“Baju baru? Horee....” Kedua anak itu riang sekali. 
“Besok kan bukan lebaran ibu, kenapa dibelikan baju baru?” Celetuk Arham. 
“Iya sayang, baju ini pemberian Allah melalui Pak Haji. Ayo kita baca hamdallah bersama!” 
Alhamdulillah....” Aiman dan Arham pun menengadahkan tangan mereka dan tersenyum manis. 
“Eh, eh, eh sebentar. Tunggu!” Pak Shabri menyahut sambil cemberut.
“Aiman dan Arham, sebelum kalian coba baju itu. Bapak mau tanya. Tadi ketika masuk rumah, sudah salam belum? Hayo?” Tanya Pak Shabri dengan serius dan sejurus kemudian tersenyum menggoda. 
“Eh, iya Bapak. Kami lupa. Hihihihihi.” Kedua anak kecil itu kembali berlari ke luar dan sekelebat membalikkan badan dengan mengucap, “Assalamu’alaikum Bapak, assalamu’alaikum Ibu.”
Dan kedua orang tua itu pun menyahut dengan ucapan salam sambil tersenyum bahagia. 
Pak Shabri memang terkenal bijak dalam mengajari kedua anaknya. Dia tidak pernah marah. Dia banyak memberi contoh. Karena Pak Shabri berprinsip seorang imam harus bisa memberikan uswah kepada jamaahnya. Termasuk keluarga kecilnya. Dan tidak heran bila Aiman dan Arham tumbuh menjadi anak yang cerdas dan berakhlak mulia.
Dan akhirnya keluarga kecil itu kembali dalam buai, tawa, dan canda yang indah. Pak Shabri tak merasakan lelah yang mendera karena hari itu ia harus mengekor ratusan itik Pak Haji yang saatnya karena musim bertelur tiba. 

“Bapak, Ibu... Aiman ganteng kan?” Tanya Aiman manja. Kedua orang tua itu tersenyum bangga melihat malaikat kecilnya tertawa lepas. Si bungsu Aslam ikut berceloteh riang. Aiman dan Arham pun berlari ke luar. Saatnya mereka mengumandangkan adzan magrib memakai baju baru.

***


Selepas subuh Pak Shabri bersiap untuk kembali ke kampung itiknya. Sementara si Aiman masih melingkar di atas bantal setia menunggu si Aslam sampai bangun. Dilihatnya kedua mutiaranya masih terlelap. Pak Shabri mencium kening mereka satu persatu.
“Arham, kamu bantu ibu ya nak ya. Bapak mau berangkat. Doakan itik bapak banyak yang bertelur hari ini!” Pak Shabri kemudian menghampiri Arham yang sedang membantu ibunya di dapur. Bergegas Arham berdiri. Beberapa potong cabai yang ia ambil tangkainya ia biarkan tergeletak di atas tikar. Arham pun melontarkan tubuh kecilnya ke dekapan sang ayah kebanggaannya.
“Iya, amin bapak. Amin. Semoga barokah.” Bu Siti tersenyum. 
Assalamu’alaikum semua.” 
Wa’alaikumsalam ayah.” Bu Siti dan Arham tersenyum dan menganggukkan kepala dan berpandangan. Pak Shabri pun menghilang di balik.

***

“Oh ya Arham, tolong bantu ibu ambilkan air gi. Setengah gayung saja. Adonan bakwan yang ibu buat terlalu kental.” Ibu Siti segera teringat adonan bakwan yang dia buat tadi.Tanpa panjang waktu Arham pun pergi ke sumur belakang. 
Bertepatan hari itu Ahad Pahing. Hari pasaran. Setiap hari pasaran Bu Siti selalu membuat gorengan berupa bakwan, tahu, dan tempe. Kemudian dititipkan di bakul pasar Desa Babadan. 

***


“Arham, tolong ibu naaak. Kamu tungguin adikmu Aslam ya. Ibu mau menyiapkan air untuk mandi adik.” Bu Siti memanggil Arham. Beberapa saat tidak ada sahutan dari anak kelas 5 itu.
“Arham... Haaaam.” Bu Siti mengeraskan suaranya. “Ah, kemana si Arham,” batinnya.
Baru sesaat kemudian menyahut. “Iyaa Ibu, iya.” Arham berlari dari depan rumah.
“Arham kamu lagi ngapa nak. Dipanggil Ibu berkali-kali tidak mendengar. Adikmu agak rewel ini. Bantu ibu!” Arham mengangguk.
“Oh ya Nak, sudah kamu antar tempe goreng ke Budhe Painah?” 
“Sudah, Ibu, dan budhe titip uang jajan kemaren Bu.” Arham merogoh saku celananya. Kemudian memberikan beberapa uang receh dibungkus uang kertas berwarna kebiruan. 
“Aiman mana?” tanya ibu.
“Aiman ada di depan bu. Kita lagi mainan tadi.” Arham seperti tidak menggagas pertanyaan Bu Siti. 
Baru beberapa saat Bu Siti menyiapkan air hangat di belakang rumah tangis Aslam kembali pecah. “Arhaam. Adik dicup-cup dulu nak. Biar ndak nangis.” Tapi tak terdengar sahutan si Arham. Bahkan tangis si Aslam tambah mengeras.
Bu Siti tergopoh-gopoh ke dalam. 
“Arham, ka.... Aduh kemana ini anak. Disuruh nenangin adiknya malah sudah menghilang lagi.” Batinnya. Ibu Siti menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian Bu Siti membawa Aslam ke belakang rumah untuk dimandikan. “Ada apa kamu Aslam. Dari tadi nangis terus kamu nak?”
Bu Siti memandang wajah lucu Aslam. Dia kemudian berdoa di dalam hati agar si Aslam tumbuh menjadi anak yang sholeh. Bu Siti terus memandangi malaikat kecilnya sambil bershalawat.
Baru beberapa saat memandikan Aslam. Suara tangis Aiman terdengar dari depan rumah. Nampak suara Aiman kesakitan. 
“Ibu, ibu....” Teriak si kecil Aiman.
“Arham... Ham... Ham... Adikmu kenapa itu. Coba ditolong nak. Haaam!!!” Bu Siti memanggil Arham dengan suara agak keras. Tapi tangis Aiman semakin menjadi-jadi.
Bu Siti kebingungan. “Aduh, Arham kemana ini.” Raut muka ibu Siti cemas. Ditambah si kecil Aslam ikut-ikutan menangis.
Baru mau berdiri sambil mengendong Aslam. Muncul Aiman dari arah pintu dapur menangis sejadi-jadinya. Bu Siti tambah kebingungan. Dilihatnya Aiman kesakitan sambil memegangi kelaminnya yang berdarah.
“Aiman, Aiman kamu kenapa nak??” Ibu Siti kaget dan menjerit histeris. Banyak darah keluar dari kelamin si Aiman.
“Mas Arham....” Isak Aiman.
Arham pun muncul di belakang Aiman. Tangannya memegangi gunting yang berlumuran darah. 
“Kamu apain adikmu Arham?” Bu Siti semakin kalut.
Astaghfirullahal’azim. Tolooooooooong ....” 
Raut muka Arham ketakutan. Arham berlari ke depan. Kepanikan bu Siti semakin menjadi. Dan terus berteriak minta tolong. Dan sesaat kemudian. Brakkk.... Terdengar benturan keras dari jalan depan rumah. Ibu Siti berlari keluar rumah dan didapatinya pemandangan yang sungguh mengerikan. Arham, anak kesayangannya tergolek di tengah jalan dengan memakai baju biru berlumuran darah. Ada sepeda motor terjungkal tepat di depan rumah Bu Siti. Seorang pemuda tengah memegangi kakinya yang patah. Jerit histeris Bu Siti tak terperikan. Bu Siti lemas tersungkur. 


***

Perlahan mata itu terbuka perlahan-lahan. Gelap dan kabur. 

“Arham... Arham....” Lirih kata itu terucap dari mulut Bu Siti. 
Suhu tubuh Bu Siti sangat tinggi. Namun sekujur tubuhnya tak dapat merasakan apapun. Sementara di luar terdengar alunan suara orang menderas Al Quran dengan tartil dalam pita kaset. Semakin lama semakin menyayat hati Bu Siti. 
Bau harum bungan mawar dan melati pun menyeruak memenuhi ruangan.
“Bu... sabar ya bu... kita harus ikhlas! Aslam, Aiman, dan Arham sudah pergi meninggalkan kita. Menunggu kita bertemu di surga, Bu. Mutiara-mutiara kita telah dipanggil ke rahmatullah” Dengan terbata dan berat Pak Shabri mencoba menenangkan Bu Siti. Dan butiran air bening kembali menetes di kelopak mata bu Siti. 
Banyak mata berkerumun di dalam istana yang mungil itu. Terlihat Pak Shabri mendekap erat tubuh bu Siti. Sementara ada tiga jasad kecil terbujur kaku memenuhi ruangan sempit itu. Dalam hitungan detik mereka telah kehilangan ketiga anaknya. Aslam tertidur pulas di dalam ember mandi kesayangannya. Aiman kehabisan darah karena luka di kelaminnya. Dan Arham, dia berpulang karena tak sanggup menahan benturan keras di kepala.

Sementara Pak Shabri hanya termangu berhujan airmata. Masih tergiang dalam ingatannya pertanyaan si Arham ketika beberapa hari lalu. “Bapak, apakah seseorang baligh itu harus dipotong burungnya?” Dan ketika itu Pak Shabri hanya menjawab dengan senyum mendengar pertanyaan lucu si Arham. Pak Shabri sekarang hanya bisa tercekat. “Ya Allah, andai aku punya waktu itu kembali. Tentu akan aku jawab pertanyaan Arham anakku. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP