HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Jumat, 18 November 2011

L.A.Y.L.A

Tubuhku yang limbung menantang sebukit baju kotor di pojok kamar. Tenagaku terkuras habis untuk ekspedisi wilayah timur jawa kali ini. 
Damn it!”. 
Terngiang ocehan Haji Musder, juragan garam yang menjajal peruntungan sebagai agen buku di Pamekasan. “Sesuai janji, ane akan membayar tiga setengah juta. Tapi, sayang sekali saudaraku,” dia tertawa menyeringai, “Berhubung tidak ada matahari pada bulan-bulan terakhir ini. Jadi garam ane pun malas untuk dipanen. Dan pada ujungnya, mohon maaf, ane tidak bisa membayar tagihan. Tapi ente tenang saja! Pada waktunya akan ane bayar. Tenaang, tenang! Janji ane tidak akan meleset lagi. Dan, mumpung sekarang matahari lagi tertawa cerah,” telunjuk Haji Musder mendongak ke angkasa sambil terkekeh, “Ane mau tutup toko dulu. Mattor sakalangkong. Wassalamu’alaikum.”
Braaaaaaaaakkk!!! Rolling door menutup keras. Dia meninggalkanku seperti gembel di depan toko. Aku banting puntung rokok. 
Dasar wong edan.” teriakku. Aku tancap gas dan pergi. Siluet Haji Musder berjoget di ujung mataku, ditimpali dengan siulan angin menyapu ladang garam. Menggali perih dalam penatku. “Sial!!!” 

*** 
Aku termangu. Jariku kaku. Angin kemarau yang dingin semalam sangat lahab membetot semua urat nadiku hingga persendian. Beberapa kali kugedor pintu rumah tidak ada jawaban. Aku pikir istri dan anakku sudah tertidur lelap. 
“Mas, aq pulang ke Jogja. Ibu gerah . Mas cuci baju kmd cepat susul aku. Ngapunten.” 
Satu jam yang lalu sebuah pesan singkat datang menghampiri layar hapeku. 
Aku raih satu per satu baju kedua anakku. Kotor sekali. Bagas yang terpaut hanya satu tahun dengan Kirana belum bisa membantu istriku untuk menjaga adiknya. Andai aku dulu ikuti saran bu bidan untuk KB mungkin tak serepot ini. Hah! Menyesali semua berarti menggugat Tuhan, campakku. 
Aku jumput gamis merah hati. Warnanya tetap cerah meski hampir tiga tahun dipakai istriku. Bisa jadi itu baju favoritnya. Aku tersenyum. Bermodal uang cekak, aku beli gamis itu di pasar kota, kemudian aku bungkus rapi sebagai mahar. Ya Allah, enam hari lagi ulang tahun ketiga pernikahanku. Namun jamak permasalahan yang aku hadapi. Desahku. 

*** 
“Mas, akan pulang. Demi Allah yang menguasai cintaku padamu. Aku tak sudi lagi mendengar nama Rani dan Rani lagi dalam rumah tangga kita,” kemarahan istriku bagai lontaran batu pijar. Dengan perut besar dan Bagas dalam gendongannya, istriku pamit purik . Dia murka dengan perselingkuhanku. 
“Jangan pergi!” aku meraung keras. Kubersimpuh di pergelangan kakinya, memintanya untuk tetap tinggal. Ia pun luluh dalam tangis dan kecewa. Malam itu, aku bertobat dalam pelukannya. Aku harus bisa remukkan perempuan tak halal bagiku, yang recoki syahwatku, ku lempar doa ke langit dalam jerit sesalku. 
Hingga tiga bulan kemudian, Kirana lahir. Saat ketuban mengalir deras, Istriku harus mengayuh sepeda ontel ke puskesmas yang berjarak satu kilometer dari rumah. Sementara Bagas dalam gendongan istriku terus menderu tangis di subuh buta. Dan bus yang membawaku pulang dari kota Bandung tak juga beranjak melaju. Ya Allah, apa aku terlalu berdosa pada istriku, juga pada-Mu. Hingga kau tak ijinkan aku temani istriku di saat dia membutuhkanku?” 

*** 
Jemuran mengampai rapi di tali. Mendung berkawan akrab dengan pagi. Jarum pendek merapat ke angka sembilan. 
“Ah, aku harus segera menjemput kekasihku,” aku bersemangat. 
Tak butuh waktu lama aku bersiap diri. Tak ada baju ganti di atas ranjang. Pun secangkir teh beroma melati buatan istriku seperti sediakala kala. Semua tak ada. 
“Agrh, dimana kunci rumah,” gumamku. Aku kebingungan. Ku obrak-abrik seluruh rumah. Hingga almari pojok kamar pun tak luput dari pencarianku. Jemariku menyapu permukaan atas. 
Blag!!! Sebuah kotak terbungkus lakban cokelat jatuh. Gembok kecil menyembul dari kotak itu. 
“Apa ini?” Aku menyelidik. Kubuka cepat semua belitannya. “Buku harian?” berkerut pikirku. 
Ku buka lembar pertama. “Di saat aku tak menemukan siapa-siapa di dunia ini untuk kujadikan sandaran lara ku. Kau datang menemuiku. Hingga aku tak perlu mencarimu.” 
Coretan tangan yang sangat aku kenal. Adrenalinku meruar. Jari tanganku bergetar. Kulahap lembar demi lembar dengan rasa terbakar. 
“Di awal tahun baru ini kau tak datang seperti waktu-waktu yang lalu. Apakah kau benar-benar telah melupakanku. Ketahuilah, hariku sepi, laraku kembali meradang. Apa aku bisa hidup tanpamu? Atau cukup dengan memandang tulisan kaligrafimu di dalam kamar, dan rindu ini terobati? Dimanakah engkau love-ku, Mas Prasetyo?” 
Mataku merah membaca kata terakhir, “Mas Prasetyo?” Bergemuruh tanya, berguncang di dalam kepala, “Apa yang dulu telah mereka lakukan? Sekarang?” 
 “Istrikuuuuu ….” Bertubi kepalan tanganku mendarat di tembok kamar. Tubuhku limbung, dan mendarat terjal di atas lantai. Layuh menyerang. Air mata terjatuh. Aku mencoba sembunyi dari Tuhan. Dan menutup maluku. I lost her. 

*** 
Dua jam aku menggempur perihku menuju Jogja. 
Rumah Prasetyo yang tak jauh dari rumah mertuaku menghadang di depan. Nanar kulihat dia bersama istri dan anaknya tengah bermain di halaman rumah. Klakson yang biasa aku bunyikan untuk sekedar menyapa bisu. Aku benci. 
Aku turun dari mobil dengan tubuh yang gemetar. Lelaki kecilku menghambur keluar. Kuusap kepalanya. 
“Mas sakit?” Timpal istriku kemudian sembari mencium tanganku. Aku tak tahu harus berbuat apa. “Ada apa mas?” Aku menggelengkan kepala. 
“Wajahmu pucat. Matamu sembab,” istriku mulai cemas. “Ibu bagaimana?” 
Aku mengalihkan pembicaraan. “Alhamdulillah, ibu sudah sehat. Beliau sedang jamaah dhuhur.” 
 Aku berlari ke kamar. Kujatuhkan tubuhku di atas ranjang. Diam. Kutatap mata istriku dalam. 
Teringat saat dia mencopot semua perhiasan emas miliknya, “Mas, jika kamu benar-benar tidak bisa melupakan Rani. Dan terus berhubungan dengannya. 
Lebih baik kamu nikahi dia sekarang! Aku antar menemui orang tuanya. Dan ambillah semua ini sebagai maharnya. 
Aku ikhlas mas.” “Ya Allah ….” 
Lolonganku dalam hati. Plak, istriku menepuk keras pipi kananku. “Boleh aku memohon satu permintaan padamu?” “Iya, mas. Apa yang bisa aku lakukan?” “Tolong turunkan semua kaligrafi di kamar kita! Demi Allah, aku tak mau melihatnya lagi!” “Jadi ….” “Iya, aku sudah tahu dan membacanya!” 
“Tapi ….” Istriku bersimbah airmata. “Sudahlah. Semua telah ditetapkan oleh Sang Mahacinta. Maafkan aku yang selama ini telah banyak berbuat salah dan dosa padamu. Apa yang telah aku perbuat padamu jauh lebih menyakitkan daripada apa yang mas baru saja ketahui.” Buih airmataku menyatu dengannya. “Mas, maukah kau menjadi suamiku dunia akhirat? Sebagai imamku?” Pinta istriku menampar keras semua egoku. Tak bisa lagi aku liukkan lidahku. Aku cium kening istriku dan mengganggukkan segenap cintaku padanya. Kupasrahkan semua rindu. Aku pun teringat dengan ulah Haji Musder. Aku tak bisa menjual dua cinta. Aku harus hidup dengan satu realita. Satu cinta. Dan dengan kesungguhan jiwa, cintaku hanya milik istriku, Layla, dan kedua anakku. Kukecup kening istriku. Pagi ini Tuhan telah menyapaku dengan indah. 

***

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP