HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Kamis, 11 November 2010

Bawean, si Rusa Kecil

Seekor rusa jantan tengah bersemadi di batuan hitam bundar di atas bukit hutan Cintamani. Batuan itu terapit dua pohon besar. Seperti raksasa hitam yang mengapit buah mentimun. Beberapa sulur ranting pohon mengenggam erat bawah batuan. Mencengkeram kuat agar tak terguling. Beberapa undakan anakan tangga membalut dari bawah hingga melangit ke atas. Lumut-lumut tua berserak di sana-sini. Mungkin sudah ratusan tahun mereka bertaaruf di sana. Terlihat sebuah padepokan tua berdiri megah tepat di sebelah kiri batu semadi. Kayu pinus yang membungkus dinding padepokan itu begitu kuat meradang. Seperti penjara tak bertuan. Yah, rusa yang malang. Ia terus dihujan sepi sejak hari pertama kedatangannya di padepokan itu sekitar 2 bulan yang lalu. Ia mendapat titah sang raja. Ia harus menjaga padepokan itu selama waktu yang tak terhingga. Hingga ada satu syarat yang harus ia penuhi agar bisa keluar dari padepokan. Syarat itu adalah si rusa harus membuat seribu kitab peraturan hutan Cintamani. Hem...



Di pojok pertapaan ia membelah hari-hari sepi. Beberapa tumpukan daun lontar yang terikat dalam beberapa kitab telah ia rampungkan. Bahkan ia hafal isinya. 
“Hai Rusa kini engkau semakin berilmu.” Sendaunya dalam hati. “Lihat! Kitabmu sudah hampir menyesaki almari padepokan.” Rusa hanya menggumam. 
“Bukan ini yang aku mau!!!” Bentaknya dalam sepi. 
Ia tak mau tergeletak mati di padepokan. Karena ia tahu hidup harus ada tawa. Karena canda akan membinasakan sepi. Hidup dalam sendiri adalah hukuman mati dari sang penguasa mayapada. Inikah takdir yang harus ia terima setelah terusir dari tanah kelahirannya. Dan terpisah dari kawanannya. “Crush... .” Si rusa melemparkan tanduknya pada kulit pohon Gaharu. Dan mendengus keras.


Suatu pagi, si Rusa kembali menekur pada lontarnya. Ia tahu kalau hari-harinya akan kembali sepi. Ia mulai menggaris setiap lempir. Tali-tali kecil direntangkan pada dua paku bambu dengan panyipatan. Lalu dibawahnya ditaruh lempir-lempir lontar. Kemudian dengan kaki depan yang cekatan ia ambil pengropak. Pisau ukir daun lontar. Sang rusa mulai membesut aksara pada lempir-lempir lontar. Detik demi menit hingga berganti jam. Puluhan lontar ia selesaikan diiringi alunan gending hutan yang gemericik. Ditingkahi suara burung yang berkicau benderang. Tetesan embun yang berkelopak jatuh mengekor pada humus di persada belantara. Tak selang berapa waktu si Rusa membakar beberapa biji kemiri sampai mengeluarkan minyak bergeridip. Diusap-usapkan pada lempir dan ukiran aksara itu pun menjadi tajam karena jelaga kemiri. Si Rusa tersenyum kecil.

Hari itu si Rusa tampak kelelahan. Ia sandarkan raganya pada dinding pinus. Tanduknya yang kuat sesekali menggores dinding pertapaan. 
“Assalamu’laikum sambar –panggilan untuk rusa yang lebih tua, ed–.”
“Wa’alaikumsalam warrahmatulloh... . Kamu siapa?” tanya si Rusa. Ia menengok pintu masuk padepokan. Dan nampak rusa kecil sedang bersimpuh di depan pintu masuk padepokan. 
“Se saya Bawean. Rusa kecil dari Pulau Bawean.” Rusa kecil itu nampak ketakutan sekali sambil memperkenalkan diri. 
“Hai dari pulau seberang nampaknya.” Tersenyum si Rusa mencoba mencairkan keakraban. 
“Tujuanmu apa datang ke padepokan Cintamani... Bawean?”
“Saya di utus sang Raja Rusa dari Pulau Bawean untuk menuntut ilmu di padepokan ini. Bolehkan saya tinggal dan belajar di sini?” Pinta Bawean.
Si Rusa berkernyit dan memincingkan mata. Hal itu semakin membuat si Rusa kecil ketakutan dan hampir berlari. 
“Belajar? Kepadaku?” Tanya si rusa keheranan.
Bawean mengangguk. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa melihat sosok rusa jantan di depannya.
“Bukankah di hutan pulau Bawean juga ada seorang penulis kitab peraturan? Mengapa engkau ingin belajar padaku?”
“Se saya hanya ditugaskan oleh baginda raja sambar. Mohon ampun jika saya salah. Saya akan mohon diri.” Ujar Bawean.
“Tunggu!!!” Sergah si Rusa melihat Bawean hendak menikung tubuhnya menuruni tangga padepokan.
“Baiklah Bawean. Insya Allah. Dengan segenap jiwa aku akan mengajari kamu membuat kitab seperti yang bagindamu titahkan. Tapi ada syaratnya.”
“E apa?” Tanya Bawean cemas.
“Kamu harus semangat dalam belajar! Tidak gampang menyerah! Dan terus melakukan continouse improvement dalam apapun! Bagaimana? Apakah terlalu berat syarat yang aku ajukan?” Ujar si Rusa.
“Tentu tidak sambar... . Apapun ilmu yang sambar akan berikan pada Bawean akan Bawean pahami dan kerjakan. ” Senyum kecil terkembang dari mulut Bawean. –uh nampaknya Bawean ndak sikatan, BAU!!!. –

Hari-hari pun menderas bahagia. Dua rusa di padepokan Hutan Cintamani itu menjadi sepasang kakak beradik yang akrab. Si Rusa pun tak lagi merasa sendiri. Bersama Bawean ia lumat puluhan dan bahkan ratusan lembaran lontar tiap harinya. Baru beberapa bulan saja mereka telah menghasilkan beratus kitab. Luar biasa.
Keakraban terjalin. Chemistry antara kakak beradik pun terbangun. Hem...

Di suatu masa...
“Lihatlah air di tengah danau itu Bawean! Riak air di tengah danau itu menandakan sebuah ketenangan dan kematangan seorang yang berilmu. Cermati air di sana! Karena harus seperti itulah seorang yang berilmu. Tenang dan matang dalam tindak tanduknya. Sehingga dapat menghasilkan sebuah keputusan yang bermanfaat bagi sesama. Ngayomi. Dan memberikan uswah.” Ujar si rusa kepada Bawean suatu sore di pinggir danau hutan Cintamani.
“Danau mengajarkan kita sebuah cinta juga, Bawean. Cinta kita pada Tuhan dan Rasulnya. Terhadap Ibu dan Bapak kita, kakak dan adik kita. Saudara-saudara kita. Bahkan pada anak cucu kita. Cinta yang diejawantahkan si danau adalah kesediaan menjadi penampung air dari kali-kali yang menumpahkan air padanya. Kemudian tanpa lelah danau itu mengurai air yang ia tampung menuju sawah-sawah. Ladang-ladang. Tak kenal lelah. Seperti kasih sayang ibu kepada anak-anaknya.” Begitulah petuah cinta dari si Rusa.
Begitu banyak regukan ilmu yang diajarkan oleh si rusa kepada Bawean pada sore itu. Dan mereka pun pulang ke padepokan dengan bertunggang langgang karena di hujani air dari langit sang penguasa kehidupan, Illahi robbi. 

Waktu berlalu, dua tahunan sudah Bawean meguru arti kehidupan di padepokan bukit hutan Cintamani. Melalui petuah sang rusa. Maupun belajar banyak dari hafalan-hafalan kitab yang tersusun. Susah senang mereka jalani berdua. Kekonyolan dan tingkah yang neko-neko mereka lakoni berdua. Hingga airmata terjatuh pun mereka resapi berdua.

Hingga tiba suatu saat ketika si Rusa harus menasbihkan diri pada pelaminan suci. Si Bawean kecil pun turut menyertai. Hingga membuncah rasa bahagia dalam derai tawa. 

Hem... benar-benar everlasting story... unforgetable memories behind.

Dan kini, di penghujung tahun kerbau. Si Kecil Bawean pun purna study sudah. Ia harus kembali ke hutan kelahiran Pulau Bawean. 

Ia akan menerjemahkan ilmunya dengan jari-jari terampilnya. Hendak ia urai ribuan petuah dalam cabaran jengkal ladang-ladang kehidupan baru. 

Hingga jatuh pada pesanku padanya: 

Wahai Bawean... meski kita tak bisa membaca takdir. Tapi kita diberikan kepekaan 'indera' untuk membawa takdir itu. Akankah berjaya terbang mengangkasa atau karam tenggelam seperti titanic... naudzubillah.
Maka terbanglah rusa jantanku. Doaku akan selalu dan selalu berada di setiap langkahmu. Terus ikhtiar, berdoa, dan tawakal terhadap apapun keputusan Tuhan. Karena ketetapan Tuhan seperti apapun pasti itulah yang terbaik bagi kita. 
Tetap tersenyum walau keadaan seperti apa. Face the world with beautiful smiles. So we can conguer it. It is our promises. 
Biar ku tetap di keberadaan sekarang. Karena aku pun telah membuat resolusi di tahun yang baru nanti. 
The last but not least... Kamu bukanlah rusa kecil seperti banyak anggapan, kamu adalah rusa jantan yang harus bisa membuat keputusan yang tepat dan mempertanggungjawabkannya.... For the best future indeed.
JANGAN CUMA JADI PEMIMPI, TAPI JADILAH SEORANG PEMIMPIN DARI IMPIANMU. 
Jangan takut akan kesengsaraan. Karena kesusahan hidup bukanlah petaka. Tapi madunya kehidupan and we will survive....
Kita harus melumpuhkan ketakutan kita sendiri karena itu adalah sebagian tanda syukur kita pada Allah SWT. Amiiin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP