HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Rabu, 21 Desember 2011

Ketika Bapak Hanya Berjarak Satu Hembusan Nafas Dariku

Tengah malam di lorong rumah sakit.

Waktu menuntunku ke pukul 00.55 lepas tengah malam. Ragaku ngilu. Mataku pedih, rindu menjemput gelap. Kurebahkan tubuhku di atas kursi bergalar kayu panjang depan ruang radiologi. Ah, cuma kursi ini yang tersisa keluhku.


***

Detik berlalu tak juga membuat mataku segera terpejam. Bayangan wajah bapak yang tergolek tak berdaya di ruang ICU terus menggerus pikirku. Masih terngiang racauan bapak sejak pukul empat sore tadi. Selepas selang pembuangan kotoran dari lambung dipasang melalui lubang hidung, kesadaran bapak hilang. Mengapa dokter penyakit dalam yang seharusnya memeriksa bapak harus seminar di Jogjakarta, kesalku.

Tapi, tindakan medis harus terus berjalan untuk menyembuhkan bapak. Aku teringat bagaimana muaknya bapak dipasang selang pembuangan melalui hidungnya. Bapak berontak. Tapi aku harus memegang kepala bapak agar cepat selesai proses pemasangannya. Karena akan lebih sakit jikaulau gagal dan harus dipasang untuk kedua kalinya.

Saking, tidak kuat menahan panas di dalam tubuh, jarum infus yang tertancap di pergelangan tangan bapak terburai. Darah deras keluar.

“Apakah tidak bisa dikasih obat penenang perawat? Kasihan bapak kalau terus begini.” Rengekku pada perawat penjaga.

“Saya tidak berani Bapak, karena itu perintah dari dokter. Dan jika Bapak memaksa agar kami melepaskan selang pembuang kotoran maka jenengan harus menandatangani surat ini. Dan pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab jika terjadi apa-apa atas permintaan Bapak. Bagaimana?” Sodoran kertas perjanjian di depanku hanya kupandang layu. Hanya ucapan terima kasih kepada perawat yang bisa terlontar dari mulutku. Sesak dadaku.

 Aku kembali ke ruang perawatan bapak. Aku ndak tega melihat kondisi bapak yang semakin menurun.

Beduk magrib bertalu. Namun tanda-tanda bapak untuk kembali pada kesadaran penuh tak juga datang. Aku dan ibu terus bergantian mendekap bapak agar tidak mencopot semua selang yang menempel di tubuhnya. Dan racauan bapak hanya kutanggapi dengan, “Istigfar Bapak! Istighfar!”

Aku tahu bapak adalah sosok yang bertanggung jawab atas amanah yang diembannya semasa sehat. Dan ketika sakit pun, racauan yang keluar dari bibir bapak seputar tanggung jawab dia sebagai salah satu pengurus masjid. Subhanalloh, aku bangga padanya sekaligus miris melihat bagaimana bapak mencoba menahan semua rasa sakit.

“Bagaimana ini? Sampai kapan bapak begini? Dan sampai kapan aku dan ibu kuat memegangi bapak agar tidak berontak? Dan Lek No, adik bapak, juga ndak segera datang ke rumah sakit.” Aku semakin kalut.

Perawat menjelaskan bahwa bapak bisa koma jika diberikan obat penenang. Tapi, bagaimanapun bapak harus ditenangkan pikirku.

Di tengah keadaan yang tak menentu. Terbersit dibenakku untuk meminta pertolongan pada ustad. Mungkin dengan bantuan doanya bapak bisa tenang. Tanpa pikir panjang, aku segera lari ke parkiran motor. Aku harus meminta bantuan, mantapku.

Selang dua jam aku kembali ke rumah sakit. Aku lihat Bapak sudah mulai tenang. Mungkin karena kehabisan tenaga. Segera aku usapkan air putih yang sudah kubacakan surah al fatihah dan beberapa asma Allah yang agung sesuai pentunjuk ustad. Aku teringat pesan beliau, “Hidup mati manusia hanya di tangan Allah, begitu juga sakit dan sembuhnya.”

Setelah ku usapkan beberapa kali di wajah bapak, di kepala, juga di dada bapak. Bapak semakin tenang. Aku kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah menengok anakku dan mandi.

Tak selang berapa lama, handphone ku berdering beberapa kali. Segera aku sahut, terdengar di ujung sana mengabarkan bapak masuk ruang ICU. Kondisi bapak semakin nger-drop. Tanpa berpikir panjang aku kembali ke rumah sakit. Kupacu motorku. Tubuhku menggigil hebat.

Sesampai di rumah sakit, Lek No menjelaskan ihwal bapak bisa dirujuk ke ruang ICU.

Aku segera masuk ruang perawatan, dan kudapati beberapa perawat tengah siap membawa bapak menuju ruang ICU. Aku pun berlari mengejar.

Sesampai di ruang ICU, tubuh bapak yang tergolek lemah segera dipasangi alat monitor untuk memonitor jantung, tekanan darah, nadi, dan saturasi oksigen oleh dua perawat yang khusus merawat pasien di ruang ICU. Setelah selesai memasang semua selang dan alat monitor, perawat itu memanggilku. Mereka mengajariku tentang cara membaca layar alat monitor dan menegaskan hanya 2 orang yang boleh menjaga bapak di ruang ICU. Dan berpesan agar bapak terus dituntun dengan dzikir.

Dari dalam ruangan ICU aku tatap wajah ibu yang kuyu dan pasrah di luar ruangan. Tiga adik iparku berusaha meyakinkan ibu bahwa bapak akan baik-baik saja. Tapi aku yakin, ibu sudah merasakan sesuatu yang akan terjadi. Aku bisa lihat dari kedua matanya.

*** 

Pukul 02.00

“Lik, lihat bapak!” tepukan tangan Lek No di pahaku membangunkan tidurku.

Aku terperangah dan lari ke dalam ruang bapak. Kudapati angka pembaca nadi semakin melemah. Aku segera keluar menghambur ke ruang jaga perawat.

Tergopoh kembali kami masuk ke dalam. Ya Allah, deretan angka di monitor semakin menurun. Aku segera membisikkan kalimah, “LaaLaa ilaaha illallah,” di dekat telinga bapak.

Demi Allah, aku merasakan kesunyian semakin mendera di ruang itu. Hanya bunyi alat monitor di dalam ruangan itu yang semakin memekakkan telingaku. Semua semakin berasa tak karuan.

Dan kemudian, hanya ku dengar satu suara saja. Sebuah bunyi yang panjang. Sebuah bunyi yang tak kan kulupa selamanya. Sebuah bunyi yang masuk ke gendang telingaku dan kuiringi deraian air mata. Aku tak bisa berkata apa pun, aku mendekap erat mulutku. Aku hanya bisa melihat ke wajah bapak. Ia tidur dengan damai.



Sebuah Untaian Kataku untuk Bapak 

Bapak masih teringat jelas, kau katakan dalam sakitmu, engkau bangga memiliki anak-anak yang shaleh dan shalihah dan kemudian engkau tersenyum manis.

(Yaa Rabb, aku ndak akan pernah lupa akan senyum bapak sore itu)

Biarpun bapak terkenal dengan pribadi yang keras dan kaku, namun itulah bapak.

Bapak yang telah membentuk karakter kami sebagai anak-anakmu. Sebagai kami yang sekarang ini.

Kami sadar sepenuhnya. Kami ndak akan seperti ini tanpa jenengan di samping kami, dengan segala kelebihan dan kekurangan panjenengan.

Aku masih teringat, bagaimana pernah suatu sore dia menguntit di belakangku ketika aku membuat teh dan mengatakan, “Teh-nya belum manis, loh, Lik! Tadi ibumu mungkin lupa memberi gula.”

Aku hanya mengiyakan saja, padahal teh buatan ibu sudah manis. Aku tidak menyangkal untuk berkata apapun kepadanya, karena aku hormat padanya atas perhatian besarnya kepadaku meski hanya sekadar membuat teh. Dan itu adalah hal yang sepele.

Aku ndak akan lupa, bagaiman bapak selalu menyuruh aku dan istri untuk segera makan sewaktu kami berkunjung ke rumah bapak. Meski bapak tahu, kalau almari makan kosong tidak ada apa-apa karena Ibu belum pulang.

Aku bangga padamu bapak.

Sebagaimana engkau telah kembali kepada-Nya dengan cara yang luar biasa indah bagiku. Engkau kembali kepad-Nya dalam keadaan tidurmu. Sehingga tak kudapati satu sengal nafas beratmu ketika roh-mu terjemput malaikat-Nya.


D.a.m.a.i


Terima kasih, telah engkau wasiatkan kami agar selalu rukun dan shalat tepat waktu dan selalu menjaga Ibu kami tercinta.

Dan mohon maaf, kami, anak-anakmu ini belum bisa mengerti kemauan bapak selama masih hidup atas sikap keras panjenengan dan hal itu baru kami sadari setelah kepergianmu.

Maaf kami belum bisa memenuhi keinginan bapak untuk pergi ke baitulloh.

Bapak, untukmu kami persembahkan untaian doa: 


ROBBIGH FIRLI WA LIWALIDAYYA

“Tuhanku! ampunilah Aku, ibu bapakku.” (QS. Nuh : 28)

ROBBIRHAMHUMA KAMAA ROBBAYANI SHOGHIRO

"Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".

"ALLAHUMMAGHFIR LAHU WARHAMHU WA 'AAFIHI WA'FU 'ANHU WA AKRIM NUZULAHU WA WASSI' MUDKHALAHU WAGHSILHU BILMAA`I WATS TSALJI WAL BARADI WA NAQQIHI MINAL KHATHAAYAA KAMAA NAQQAITATS TSAUBAL ABYADLA MINAD DANASI WA ABDILHU DAARAN KHAIRAN MIN DAARIHI WA AHLAN KHAIRAN MIN AHLIHI WA ZAUJAN KHAIRAN MIN ZAUJIHI WA ADKHILHUL JANNATA WA A'IDZHU MIN 'ADZAABIL QABRI AU MIN 'ADZAABIN NAAR

“Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya, kasihanilah ia, lindungilah ia dan maafkanlah ia, muliakanlah tempat kembalinya, lapangkan kuburnya, bersihkanlah ia dengan air, salju dan air yang sejuk. Bersihkanlah ia dari segala kesalahan, sebagana Engkau telah membersihkan pakaian putih dari kotoran, dan gantilah rumahnya -di dunia- dengan rumah yang lebih baik -di akhirat- serta gantilah keluarganya -di dunia- dengan keluarga yang lebih baik, dan pasangan di dunia dengan yang lebih baik. Masukkanlah ia ke dalam surga-Mu dan lindungilah ia dari siksa kubur atau siksa api neraka)."



Selamat jalan, We really proud of you! Sampai bertemu kembali di surga-Nya. Amin3×.








Salam sayang dari, 

Kaira 

1 komentar:

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP