HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Jumat, 12 November 2010

Doubtful Journey (God, sorry for hesitating you...)

“Allahu akbar, Allahu akbar. Asyhadu alla ilaaha illallah….” 

Adzan subuh berkumandang lingkupi pagi buta bulan april tahun 2000. Tepat sebulan aku mentasbihkan diriku sebagai mahasiswa dengan nilai cum laude di sebuah perguruan tinggi swasta di kota seni dan budaya. Bahkan riuh tepuk tangan yang membahana di balairung universitas kala itu masih sayup terdengar hingga kini. 

Kututup masa kuliahku dengan prestasi yang membanggakan. Menjadi mahasiswa lulusan terbaik adalah salah satu dari sederetan keajaiban yang diberikan Tuhan padaku. Namun tak selang dua hari setelah wisuda aku harus pulang. Aku sadar kepulanganku bukanlah untuk melanjutkan sebuah perayaan. Namun menerima sebuah kenyataan bahwa aku harus menanggalkan semua kamuflase kebahagiaan dan haru biru masa kuliahku. Aku harus bersiap masuk gerbong kehancuran yang tengah membawa keluargaku pada sebuah petaka. Bahkan untuk menjadi roda-rodanya aku pun akan mempertaruhkan diriku. Kata orang hidup adalah sebuah pilihan. Tapi bagiku, kadang hidup tak menyisakan sebuah pilihan. Maju atau aku mati.
“Ayo Le kita berangkat! Ni, kamu bawakan tas Mbak yang besar. Biar Mbak gendong si Thole. Sama ini tas kecil buat salin Ghani secukupnya, biar Mbak yang bawa.” teguran kakak perempuan pertamaku dari balik pintu kamar menghenyakkan dzikir dan kepasrahanku. Setelah kupanjatkan doa sapu jagad aku pun meletakkan sajadah dan sarung di atas rak buku. 
Aku tidak tahu akan pulang kapan, mungkin beberapa hari. Jadi kurapikan kamarku sebelum subuh. Biar tidak merepotkan ibu. 
Aku pun meraih tas rangsel kecil di atas meja yang berisi beberapa potong baju. Ku langkahkan kaki menghampiri kakak di kamar sebelah. 
“Mbak sudah siap. Tapi ini Ghani masih tidur.” kata kakakku pelan. Di keremangan lampu kulihat sosoknya menggendong Ghani yang baru sembilan bulan menghirup udara bebas dunia. Muhammad Ghani Arta Kusuma adalah nama lengkapnya, pemberian dari Bapak untuk cucu terakhir yang selalu menjadi pelipur di saat duka –semoga engkau menjadi anak yang shaleh seperti doa yang terpanjat di atas pemberian namamu –. 
Di ruang tamu ada bapak dan ibu serta kakak perempuanku nomor dua. Tidak ada kata yang banyak terucap dari keduanya selain “Ati-ati Le, jaga Mbakmu dan Ghani. Salam dari Bapak dan Ibu untuk Pakdhe dan Budhe di Batang.” Aku pun tak mampu menjawab pinta Bapak. Aku terdiam, hatiku benar-benar terkoyak hancur tak terperikan. Hanya anggukan kepala tanda kepatuhanku. 
Mbak Fitri, kakakku nomor dua pun tak bisa berkata apa-apa. Hanya linangan air mata tatkala kedua kakakku saling berpelukan. Seakan tak mau berpisah, mereka lama sekali beradu tangis. Aku miris.
“Ayo Mbak! Matahari segera terbit. Kita tidak boleh membuang waktu.” gegasku. Aku gendong tas besar hitam. Aku keluar sambil memastikan bahwa belum ada tetangga yang bangun. Meski aku tahu kebiasaan mereka adalah bangun setelah matahari benar-benar terbit. Mereka pun tak pernah takut atas adanya Sang Penguasa hari. Kehidupan kampung yang benar-benar jauh dari cahaya Illahi. --- ampunillah kami Ya Rabb ---
Ternyata benar, jalan raya yang menyibak tengah kampung itu masih sepi. Dan untuk menghindari orang-orang, sengaja ku tempuh jalan melingkar menjauhi keramaian. Kepergian kami tak boleh terlihat orang lain. Melalui jalan tengah kampung akan mengundang banyak tanya dari tetangga dan orang-orang pasar. Sudah dipastikan akan menjadi fitnah yang besar bagi kami. 
Setengah jam kami lingkari jalan tepi desa. Di ujung perempatan jalan kusaksikan terminal bus yang masih bisu. Kulihat jajaran bus ke kota siap mengantar penumpangnya di temaram pagi. Kuraih tangan kecil Ghani dan kupilihkan tempat duduk di belakang sopir. Aku tahu jam-jam itu, bus kecil pedesaan akan terisi penuh dengan para pedagang pasar tujuan Pasar Ampel dan Pasar Salatiga.
“Coba sini biar aku pangku Ghani! Perjalanan kita panjang. Mbak makan roti sisa tadi malam dulu ya. Nanti aku gampang.” nasehatku.
“Tapi aku nggak doyan makan Le” sergahnya. 
“Mbak harus makan! Harus dipaksakan makan. Jangan biarkan perut kosong. Bisa ambruk. Nanti malah semakin runyam, kasihan Thole!”
Sejurus aku tahu. Bahwa dia terus kepikiran suaminya. Tapi bagiku, suaminya ada atau tidak, sama saja. Tidak akan bisa menolong dan tidak berguna. Seperti maling yang ketahuan ketika belangnya. Dia lari tunggang langgang menghindar dari kejaran polisi kota. Bukan mencari jalan keluar atas hutang gadai motor untuk biaya hidup. Tapi malah menghilang tak bertuan. Suami macam apa dia!
“Ayo Darmadi kita berangkat!” Bentak sopir kepada kondekturnya. Si hitam itu pun segera meloncat siap menyapa jalan-jalan pagi sampai dengan terminal Salatiga. Banyak sekali tumpukan-tumpukan sayur di sebelah pak Sopir. Sehingga dengan kuat aku tutup kepala Ghani yang masih terlelap dengan tangan-tanganku yang gemetar karena sedari sore belum makan.
Bus pedesaan itu melaju meninggalkan kampung halamanku. Melesat dengan cepat sesekali berhenti mengangkut penjual-penjual jajan pasar yang semakin sesak berjejal. 
Namun, ingatanku masih saja terngiang pada kata-kata Bapak malam sebelum kepergianku. “Nduk … Le … yakinlah bahwa semua cobaan Allah ini akan mengangkat derajat kita lebih tinggi. Dan akan menghapus dosa-dosa bapak, ibu, kamu nduk, juga kamu Le. Asal kita sabar dan ikhlas”.
Aku dan kedua kakakku hanya bisa menatap ke lantai dalam-dalam. Kusaksikan ketegaran Bapak dengan mata berkaca. Subhanalloh, seorang ayah sekaligus teman yang sangat aku hormati dan banggakan. –I realy proud of you dad–.
Ingatanku pun melayang ketika aku masih usia SD. Sungguh suatu surga kebahagiaan yang tercipta. Sebelum pindah atau melimpah ke SMP di kota, bapak adalah termasuk guru di sekolahku yang juga merupakan SD favorit di desa. Dengan setia bapak mengantar dan menjemputku dengan kendaraan roda empat. Padahal bagi penduduk di desa, mempunyai sepeda motor saja sudah diibaratkan bisa berhaji apalagi mempunyai mobil. Dan Ibu adalah seorang kepala TK Islam di kampung yang disegani. 
Selain menjalani hidup sebagai pengabdi negara. Bapak ibu juga mempunyai usaha sampingan. Membuka usaha kios di pasar desa dan juga di rumah. Untuk ukuran masyarakat kampung keluargaku dipandang hidup serba berkecukupan bahkan lebih. Memang kami hidup berlima dengan luapan kasih sayang dan berjuta pelangi bahagia. Bahkan banyak orangtua yang hendak melamar kedua kakakku untuk dinikahkan dengan anak laki-laki mereka.
Tahun 1990 kakakku nomor dua dilamar oleh seorang lelaki yang berasal dari kampung sebelah. Karena bapak melihat calon suaminya dari keluarga baik-baik. Maka tak lama kemudian mereka pun menikah dalam kemeriahan pesta. Tak selang dua tahun kemudian kakakku nomor satu pun menikah dengan taaruf yang singkat dengan lelaki asal desa atas angin. Aku juluki iparku demikian karena rumahnya berada di desa di pucuk gunung. Dia anak seorang petani desa yang sangat kolot dan konservatif dalam cara berfikir. 
Dari pernikahan kakakku masing-masing mempunyai dua orang anak. Kakak kedua mempunyai dua anak perempuan. Mereka hidup berbahagia karena setelah menikah Bapak memberikan modal rental mobil. Dan kakak pertama mempunyai 1 anak perempuan dan Ghani. Mereka pun tidak lepas dari bahagia karena dengan kemampuan Bapak mereka diberi modal untuk mendirikan usaha jual pakaian jadi di dasaran tengah pasar dan satu di kios. 
Semua bahagia tercipta dalam belanga rumah tangga yang mawadah sakinah warrahmah. What a wonderfull life sampai… .
Tahun 1998, merupakan awal dari segala bencana.
Dahulu aku tidak pernah percaya akan hal-hal yang berbau takhayul dan immaterial. Karena semenjak lepas SMA aku lebih banyak tinggal di Solo. Mengabdikan diri pada kesibukan kuliah dan pergaulan bebas yang begitu nyata bergelimang. 
Tak pernah kusaksikan dengan mata kepalaku dan pekanya pendengaranku saat jam tepat tengah malam, bola-bola api mengitari dan meledak tepat di atas rumah. Tak pernah kusaksikan Ibuku tercinta tiba-tiba lumpuh ketika jatuh di depan kios pasar. Tak pernah terlintas di kepalaku ketika Bapak terus mengeluh tiba-tiba barang dagangan banyak yang raib begitu pula dengan baju jualan kakak pertamaku. Tak pernah kuhitung uang yang masuk di laci kios selalu tidak sama dengan hasil penjualan dalam sehari. Tak pernah kukecap keganjilan dengan lidahku saat nasi yang tiba-tiba cepat membusuk dan menyisakan ulat-ulat yang menjijikkan. Dan tak pernah aku hiraukan ketika noktah hitam di punggungku yang sakitnya bukan main hanya bisa disembuhkan dengan ayat-ayat quran dan lantunan doa-doa seorang yang suci. Dan tak pernah kusaksikan banyak kejadian-kejadian ganjil menimpa keluargaku. Astaghfirullahal adzim…

***

“Tahu-tahu... ini Bu tahu-nya seribu dapat tiga!” tukas penjaja makanan terminal Salatiga mencoba merayu penjual sayur pasar.
“Ora mas, aku wis nggowo pangan”, ibu itu mencoba menampik tahu yang ditawarkan.
Rupanya teriakan si tukang tahu membangunkan tidurku. Aku memang tidak bisa memejamkan mata menjelang malam keberangkatanku. Bahkan hampir dua bulan sejak kepulanganku dari kota aku tidak pernah bisa tidur. Malam-malamku kuisi dengan munajat. Meski lelah mendera Bapak selalu mengajariku tentang sabar. Innallohama’ashobirin... 
“Le... udah sampe terminal Salatiga lho! Kita harus turun dan ganti bus ke Semarang”, Kakakku coba menyadarkan aku. “Ni, Ghani baru aja pipis dan baju Mbak basah semua”. Dengan cekatan aku lihat kakakku mengganti celana yang basah.
Mungkin ada hikmah tersendiri mempunyai suami yang keranjingan. Kakakku tumbuh dewasa menjadi single parents. Keterpaksaan benar-benar menjadi kebiasaan. Dan hidup pun tak memberikan sebuah pilihan kepada dia, kecuali tegar menjadi perempuan. 
Begitu pula dengan aku. Sebagai anak ragil aku pengin mendapatkan kakak ipar yang bisa aku andalkan. Bisa menjadi kakak sekaligus teman berbagi. Andai aku bisa memilih tentu aku akan berkehendak lain. 
Namun sejak menikah dengan kakakku, sepeserpun belum pernah dia berikan nafkah lahir kepada keluarga. Bahkan dia cenderung menjadi pengekor. Dengan modal beberapa juta pemberian Bapak merekapun membuka usaha penjualan baju jadi di dalam pasar. Alhamdulillah, dengan keramahan kakak banyak pelanggan yang datang membeli. Usaha pun semakin berkembang. Pernah dengan uang pemberian orang tuanya iparku dijanjikan ‘diloloskan’ dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil. Namun karena kurang waspada uang itu pun dikemplang oleh pemberi jalan. Hal itu membuat dia kehilangan semangat untuk berjuang mendapatkan kerja dan mandiri. It’s too bad.

***

Waktu menunjukkan pukul 7 lebih 8 menit. Kuraih kembali tas besar hitam bekal perjalanan kami. Entah kenapa semakin berat saja barang-barang yang ada di dalamnya. 
“Ghani tunggu di sini ya! Ni Om ada uang sedikit tak belikan makanan untuk kamu, sebentar yaa...”, aku berjalan menyusuri peron terminal. Mencari makanan seumuran dia. Aku tahu, aku tidak mungkin membelikan roti bayi atau susu. Uang ku tinggal 33ribu. Hanya pas untuk sekali perjalanan ke Batang. Seperti orang kebingungan aku jalan mondar-mandir. Dasar bakul, insting mereka pun bergejolak melihat ketololanku di peron terminal. Bagai rauangan serigala mereka menawarkan jajan mereka. Aku mencari makanan untuk bayi bukan TTS, arem-arem, bahkan majalah porno yang mereka tawarkan gumamku.
Sepintas kulihat makanan di dalam kemasan plastik. Ada yang berwarna hijau, merah, kuning menggiurkan. Tanpa basa-basi segera kuambil dan kubayar dengan uang seribu. Ibu penunggu bakul itu pun tersenyum tanda sejutu ketika makanan yang ku ambil kubayar dengan seribu perak. Mungkin ia tahu ada anak manusia yang butuh pertolongan di awal mellinium baru. ---Wherever you are mom, thanks so much... God bless you---. 
Segera kuberlari kecil menghampiri Ghani di ujung peron. Dengan lahap dia menyantap jelly yang kuberikan. Senyumnya adalah obat yang luar biasa bagi qalbuku yang terbelah.
“Ayo, kita naik lagi. Tuh Mbak ada bus jurusan Semarang yang kosong.” Dan celoteh Ghani pun mengiringi perjalanan kami dari Salatiga menuju ibukota propinsi Jawa Tengah, Semarang.”

***

“Kenapa aku ditakdirkan seperti ini Le?”, sekelumit pertanyaan yang sangat menghunjam dilontarkannya kepadaku di tengah deru mesin bus kota.
“Pergi dari rumah pagi-pagi buta! Harus mengendap-endap seperti maling, kenapa bisa begini?” Isak tangis kembali memecah setelah pamitan subuh itu. “Kenapa?Apa salah dan dosaku?”
Tak sepatah kata pun aku terucap dari lidahku. Sungguh kelu. Aku benar-benar tidak punya daya mengetahui semua. Ternyata banyak hal yang tak pernah kuketahui dan coba sembunyikan dari aku selama aku di Solo. Kusesalkan ketika ingatanku kembali teringat bagaimana aku menghamburkan sisa-sisa uang bapak untuk sekedar kongkow di mall dan untuk maksiat. Sungguh berdosa aku, ketika tidak ada mobil rumah yang menjemputku dari terminal menuju rumah dan aku menjadi marah. Ketika aku alergi dengan bus kota sehingga kemanapun aku harus naik taksi. Di mana aku, di saat rumah serta barang seisinya tergadai.
Begitu pula dengan pagi itu. Aku harus pergi menyelamatkan kakakku untuk menghindar dari ancaman. Sepucuk surat datang dan mengatakan bahwa, “BAYAR HUTANG ATAU NYAWA MELAYANG”. 
Yaa Alloh tolonglah hambamu ... 
“Yang sabar ya mbak... Bukan kah sesudah datang kesulitan pasti akan datang kemudahan. Dan Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya. Kemaren ustadz bilang begitu. Ya kan? Yang bisa kita lakukan adalah pasrah dan tawakal.”
“Tapi setelah aku di tempat Budhe, lalu bagaimana dengan bapak, ibu, dan kalian? Bagaimana dengan utang-utangku?”
“Mbak Allah Mahaadil. Allah tidak tidur. Kita harus yakin itu”, coba kuyakinkan kakakku meski aku tiada berpegang atas keyakinanku sendiri. “Bagaimana aku bisa membayar hutang yang jumlahnya mencapai puluhan juta, mungkinkah Allah menolongku?”

***

“Mbak itu busnya mau berangkat. Aduh... kalian di sini dulu biar aku kejar!” Berlari aku kejar laju bus AKP warna biru keabuan. Kuteriaki agar pak sopir berhenti. Sejurus kemudian bus berhenti. “Cepat!! kita sudah terlambat...”, kondektur itu pun ngomel ndak karuan. Dengan tertatih kakakku berlari kecil mengejar bus yang telah berhenti. 
Papan bertuliskan “TERMINAL BUS TERBOYO SEMARANG” lama kelamaan menghilang dari pandanganku. Dengan pandangan kosong aku alihkan mataku untuk tetap menjaga barang bawaanku. Bus jurusan Semarang – Pekalongan memang terkenal dengan copetnya, aku harus waspada.
“Mari Mbak duduk di tempat saya! Nggak papa biar saya berdiri saja. Kasihan adheknya.” Beruntung ada seorang paruh baya yang menawari tempat duduk. –semoga kebaikan saudara tergantikan tempat perjamuan di surga– .
“Matursuwun Bapak.” sahutku.
Alangkah baiknya orang ini gumamku. Seandainya para tetangga bahkan saudara dari bapak dan ibu memberi pengayoman dan bahkan memberi makan saat kami kelaparan. Dan seandainya teman-teman tak menjauhiku di saat aku seperti itu, di saat aku membutuhkan mereka. Tentu aku akan banyak berkeluh kesah dengan mereka. Namun kejatuhanku membuat mereka jijik dan menjauh. Ternyata tak semua kebaikan berbalas kebaikan. Kadang kala kebaikan yang kita berikan dengan sepenuh cinta terbalas dengan hinaan. Namun ku yakin akan selalu ada balasan yang setimpal atas apa yang kita perbuat. Entah dengan apa, kapan dan di mana Allah akan menggantikannya. Wallu’alam... lindungilah kami dalam perjalanan.
“Itu kios si Pambayun Le! Itu kan pasar Weleri, ya tho?”. 
“Sudahlah Mbak. Mungkin keluarga kita sudah tak sederajat lagi. Aku juga sudah melupakan dia.” Ku buang mukaku jauh-jauh dari bangunan megah itu. Yah, romansa yang memilukan. Dengan jarangnya aku ajak dia nonton, jalan-jalan di mall, jajan di tempat-tempat berkelas, hingga tak pernah lagi kuberikan kado-kado mahal lalu Pambayun memutuskan pergi dariku. Pambayun adalah teman kampus yang sempat aku kenalkan pada bapak dan ibu. Aku pengin dia menjadi pemdamping hidup. Meski keluarganya juga berantakan karena kasus perceraian, namun dia begitu phobia dengan kemiskinan. –semoga Allah memberikan jodoh terbaik untukmu—

***

“Limpung! Limpung!” kondektur bus menawarkan bakal perberhentian bus selanjutnya. Namun tak ada penumpang yang menyahut. 
“Ah, hutan-hutan jati itu menambah eksotisme Alas Roban semakin penuh dengan mistis. Adakah kebenaran di sana? Apakah benar kata para ustadz bahwa kehancuran semua ini karena ilmu hitam. Apakah penyebar ilmu hitam juga berpakaian hitam-hitam dengan bercaping seperti orang-orang misterius di pinggir alas ini?” batinku. “Entahlah... .” 
Tak lama setelah bus keluar dari rimbunnya hutan jati, kudapati pintu gerbang “SELAMAT DATANG KOTA BATANG”. Perasaanku sedikit lega bercampur tanya. “Benarkah semua ini, mimpikah aku?”
“Alun-alun Pak!” pintaku pada kondektur bus. Kakiku seperti tidak kuat menahan beban tubuh. Dan menempuh perjalanan hampir 7 jam membuat keadaanku kepayahan. 
“Pak nangdi mas, inyong anter ya!” tukang becak menawarkan jasa kepadaku. “Tolong antar kami ke Perumnas Kalisalak Jl. Meranti 30A yang Pak!” tanpa pikir panjang Tukang Becak mengayuh becak yang membawa kami menuju alamat yang aku sebutkan.
“Assalamu’alaikum Budhe...” ku ketok beberapa kali untuk meyakinkan tuan rumah karena aku tahu Pakdhe sedang dinas jaga di rumah sakit Kalisalak. 
“Wa’alaikum salam ... Masya Allah Itak ...”, tangis pun memecah dalam kerinduan. Dua perempuan beda generasi itu pun tersedu. Kaget Budhe mengetahui keadaan keluarga kami yang sudah berkeping. Seribu pertanyaan. Seribu rasa heran tertumpah dalam tangis. Yaa Allah Yaa Tuhan ... miris aku melihatnya... apalagi pas Ghani juga ikut menangis. 
Dua hari aku di sana. Sejenak aku melupakan kepenatan yang membelenggu. 
“Mbak aku tak pulang yaa... kasihan bapak ibu. Tentu butuh aku. Kita harus cari tempat berteduh. Mbak kan tahu Pak Waluyo pembeli rumah kita mengharuskan kita pergi awal bulan depan. Mbak di sini saja. Kalau ada apa-apa kirim kabar!” Sungguh demi Allah aku tidak tega menyaksikan keadaan itu. Pilu hatiku. “Satu hari lagi Le, satu hari saja!” rengek kakakku yang enggan aku pergi.
Akhirnya pada hari ketiga Mbak Ita mau kutinggal.
Setelah kucium kening Ghani, aku pamitan dengan Budhe. “Budhe, kulo nitip Mbak Ita”. Pintaku mengiba. “Iyo Lik, salam kanggo Bapak pesen Budhe Pakdhe seng sabar”. Allahu Akbar ... jeritku dalam hati.
“Mbak aku pamit, yang ma ... nut sa... ma Bu ... dhe!” Kata-kataku terbata dan air mataku pun mulai menetes. Demi Allah aku tak kuasa menahan letupan kesedihan yang luar biasa dahsyatnya. Dengan sekuat tenaga aku simpan agar air mata ini tak pernah menetes. Karena aku adalah anak laki-laki, aku harus kuat. Namun detik itu juga air mataku tak terbendung. Sejak kecil kami tak terpisahkan. Namun saat itu kami harus terpisah karena nasib. Hidup memaksaku untuk menerima semuanya.
Tertunduk lunglai aku jalan menyusuri gang kecil perumahan. Tujuanku adalah terminal Pekolangan untuk pulang. Jarak yang seharusnya kutempuh dengan angkutan plat kuning kutempuh dengan jalan kaki.
Aku putus asa atas semua harapan. Aku tidak tahu harus bagaimana menghadapi masa depan. Aku bingung harus memulai dari mana. Aku takut untuk menjadi miskin. Aku cemas apakah besok aku bisa makan dan bukan lagi besok makan apa.
Kusalahkan diriku... Kusalahkan Tuhan. Tuhan tidak sayang padaku. Tuhan telah meninggalkanku. Aku berteriak keras di pematang sawah yang kulalui. Keras sekali. Aku menangis. Aku pun terduduk lunglai... Aku pasrah.
Aku baru sadar ini bukanlah mimpi. Aku baru sadar bahwa di dunia ini ada orang yang benar-benar jahat dan sehingga daya upaya dia bersekutu dengan iblis laknatulloh untuk menghancurkan saudaranya sendiri. Naudzubillah...
Aku baru percaya dengan keyakinan yang penuh ketika kusaksikan tanah di depan rumahku digali oleh ustadz kemudian ditemukan tulang belulang manusia. Lengkap dengan ubo rampe ilmu hitam. Aku baru tersadar bahwa ada manusia yang benar-benar tega menyaksikan saudaranya jatuh ketika seluruh kerangka itu ditaruh di atas daun pisang dan dihanyutkan di sungai dan dengan cepat melesat hilang seperti busur panah tanpa mengikuti gerak arus air sungai. Dan semuanya telah terlambat. Semua telah habis tak bersisa. Semua kenangan indah masa kecilku musnah. Bahkan rumah untuk berteduh peninggalan eyang juga telah terjual. Habis semua ... habis.
Aku pun melanjutkan perjalananku dengan gontai. Semua peristiwa melintas di penglihatanku. Kebahagiaan itu telah hilang dan tak mungkin akan kembali. Tapi aku harus pulang. Aku pun tak lagi memedulikan keadaan aku di dalam bus yang membawaku pulang. Air mata ini tak bisa kubendung. Bayangan wajah bapak, ibu, kakak dan keponakan selalu terlintas. 
Bagaimana aku bisa menyaksikan Bapak dan Ibu menderita. Yang seharusnya dalam usia uzur, mereka bisa menikmati jerih payah selama tahunan mereka bekerja banting tulang. 
Bagaimana aku bisa menampung keluh kesah kakakku nomor dua. Jika suaminya ternyata telah selingkuh dan bahkan menikah siri dengan wanita penggoda yang ia temui di jalan. Dan bahkan hubungan haram itu mendapat restu dari orangtuanya. Kota Jepara adalah saksi bisu pernikahan terlarang mereka. Karena mereka melihat tak ada yang bisa diambil dari keluargaku, maka mereka perlakukan kakakku dengan kejam. Bahkan pernah tanpa sepengetahuanku dan demi keutuhan rumah tangga, kakakku disiram dengan air kotor di terminal dengan disaksikan banyak orang. 
Bagaimana aku bisa mendengarkan curahan hati kakakku nomor satu. Jika suaminya yang menghilang ternyata kembali ke rumah orang tuanya. Dan lebih keterlaluan lagi, dia diminta menalaq cerai kakakku oleh orangtuanya. Karena dianggap kami pembawa sial.Dan untuknya telah disediakan calon istri yang baru pulang dari malaysia sebagai TKI.
Bagaimana aku bisa mendengar celotehan semua keponakanku jika bahagia telah terenggut. 
Airmata ku pun memecah karena aku benar-benar tak kuasa menghadapi semua. Selama tujuh jam perjalanan pulang menjemput orang-orang terkasih kutiriskan airmata ini. –Ampuni aku Yaa Allah, ijinkan aku menangis...—

***

Devoting Tears

Teruntuk Eyang 
Eyang kakung maafkan kami, hingga ajal menjemputmu cerita sedih ini tak pernah terurai padamu. Meski kami tahu bahwa kau pun mengerti dan merasakan kesedihan itu. Percayalah doa kan selalu bersamamu eyang. Tak kusesali hidupku. Karena disaat malaikat maut menyapamu, gengaman tangan kita beradu dalam talqinmu. Dan untuk Eyang Uti, we always miss your little surprise on our birthday. See u in heaven.
Teruntuk Bapak
Aku bangga menjadi anakmu. Aku menghormatimu, sebagaimana aku hormati keputusanmu untuk merahasiakan siapa ‘dalang’ di balik semua ini. Kupegang petuahmu bahwa, “Allah tidak pernah sare”. Terimakasih engkau telah berikan pelajaran berharga. Aku siap melanjutkan cita-cita mu. Aku laki-laki dan aku harus bisa. Semoga Allah panggil kita menuju tanah suci.
Teruntuk Ibu
Aku tahu aku belum bisa mengajakmu keliling dunia. Namun ijinkan aku membahagiakanmu dengan keshalihanku.”Seperti udara kasih yang engkau berikan, tak sanggup ku membalas… ibu…” Kita berdua memang Oi sejati, semoga kita bisa ketemu dengan bang Iwan ya. In the name of Allah, I love you mom.
Teruntuk Kedua Kakakku
Becoming a single parents bukanlah perkara mudah. Tapi aku percaya kalian bisa. Seperti dengan kekuatan keperempuananmu kalian telah getarkan arsy dengan talaq cerai atas suami-suamimu. Namun yakinlah thats the best we can do. Andai dulu kita melek UU KDRT tentu kita akan seret mereka ke meja hijau. Namun Allah Mahabesar biar pengadilan akhirat yang menentukan semua. Dan semoga Allah pilihkan jodoh terbaik untukmu. Yang sabar dan tabah! 
Teruntuk Keponakan-keponakanku
Keep movin guys, your ami will always wacthing you and always be your friend. Jangan nakal. Nurut sama eyang.Tunggu nanti hari raya qurban pasti om buatkan sate kambing. Biar sesukses om nantinya—amin— semoga om tetap berpijak di bumi. Bahwa om pernah cuci piring dan jualan sate kambing di pinggir jalan untuk menyambung hidup kita. Pesen om, jangan malu untuk berusaha dan ikhtiar bila di jalan Allah. Lope u dan moga kalian menjadi anak shalih dan shalihah.
Pak Haji sekeluarga…
Terima kasih telah memberikan tempat berteduh selama beberapa tahun belakangan ini. Sungguh kami tak kuasa membalas semuanya. Semoga Allah membuatkan rumah di surga untuk Bapak dan Ibu Haji. Amin
Last but not least... and above of all, Allah SWT.
“Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.”

Delapan tahun berlalu, kupertaruhkan segala kesangsianku atas hidup 
Meski kadang aku harus meraba arah cahaya agar aku tetap bisa bertahan dan berjalan.
Tuhan, maafkan aku pernah kuragukan kemahasempurnaan-MU
Maafkan bila aku lemah dan tanpa sadar kuteteskan airmata.
Kumohon gantikan airmata yang terderai dengan tawa renyah bidadari-bidadari yang kurindukan di surgamu. Terima kasih telah membuatku menangis dan tertawa. 
Tetap lindungilah malaikat-malaikat kecilku di TPA, karena mereka adalah ruh bagiku. 
Dan terima kasih telah memberiku rizki teman-teman yang senantiasa mendukung dan menuntunku untuk bertaubat pada-Mu. Dulu aku adalah iblis kecil yang merayu para pencari pahala di suraumu agar tak datang temui-Mu. Tapi kini aku lantunkan adzan-Mu... Subhanalloh... 
Asaku... jangan biarkan aku tumbuh menjadi ilalang tinggi yang mudah patah tertimpa pusaran sang bayu, namun semaikan aku menjadi rumput-rumput pendek yang kokoh menghampari persada dengan hijauku. Meski sang bayu menderu dan aku terdahsyat oleh pijakan-pijakan kaki namun akan tetap hidup bermanfaat untuk sesama. Amin... 
Wassalam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP