HIDUP tak MENGAJARI mu Bagaimana TERTAWA, Tetapi HIDUP MENGAJARI mu Bagaimana Meraih BAHAGIA.

Kamis, 11 November 2010

Sebuah Catatan Kecil di Kaliurang

Secangkir teh beraroma melati dan beberapa keping wafer coklat menemaniku sore itu. My happiness is undescribed. Bahagiaku tak terlukiskan. Wangi kursi manten masih mengekor hingga keberadaanku di sana. Hem... 
Sebuah coretan kecil yang baru saja aku buat dan pensil kuhimpitkan di bawah teko poci. Segera jemari kiriku mencermati status facebook bertuliskan, “Menikmati jasmine tea bersama istri... Di teras gazebo @somewhere menunggu azan magrib tiba... Melihat atas bukit bertemaram sang surya yg beranjak ke peraduan...” Beberapa komentar masuk dalam hitungan detik. Ada beberapa komentar yang membuat sel neuralku terbakar dan tertawa lepas. Mereka ternyata tergoda juga mendengar kata-kata honeymoon. Sekedar bercanda, bahkan ada yang menyemengatiku untuk lebih keras "bertempur". Emm... “Bukan menikmati istri bersama jasmin, to?” Tulis komentar sang kartunis kenamaan. Aku terkekeh membaca komentarnya... . Saudara dekat yang lama tak berjumpa pun memaksakan diri menulis comment. Nuhun pisan kang.


“Mas dingin di luar. Masuk ke dalam sa...yang!” Terdengar suara lembut seperti terperangkap bayu dari balik pintu kejutkanku. Malu-malu dia memintaku masuk. 
“Duduk di sini sayang! Sebentar lagi azan berkumandang. Kita tunggu bersama. Kemudian kita berjamaah magrib. Ayo sini!” Masih kikuk aku menyilakan dia duduk di sampingku. Perjamuan sederhana penuh cinta. Bukit di kaliurang menenggelamkan sejuta dama.

***

Kututup facebook dan kusingkirkan handphone. Bidadari ini sungguh cantik, bisik hatiku. 
“Sini sayang, ada sesuatu yang harus kamu baca!” Sejurus dia memberikan isyarat setuju. Ku ambil kertas yang kuselipkan di bawah teko poci. Kugayutkan di sela kelingkingnya.


“Pada langit kulukiskan bingkai kehidupan. 
Berufuk pada cerahnya sang surya tampak meninggi. 
Penuh mengurai 1001 cerita dan rahasia. 
Dan kini, saat aku harus bertahta, Rabb memberiku bintang di telapakku. 
Terus menari riang dia. 
Bersendau dalam relung-relung jiwa. 
Mengisi kehampaan yang dulu ada.
Dan bintang... . 
Engkau tak kan pernah redup denganku meski sang surya menjerang cahyamu. 
Karena sepenuh jiwa kau selalu menyala dalam gelap terangku. 
Karena kamu aku ada. 
Hingga langitku tak kan pernah terbenam senja.
Dedicated to my*”




Sejenak kemudian kutatap dua jernih bola matanya dan kukatakan, aku telah jatuh cinta. Dia mengamini dengan anggukan. Buliran air mata jatuh dari pelupuk mata. Aku biarkan tubuhnya merebah di bahuku. Kuseka hujan airmatanya dengan senyumku. Thanks God for this blessing... 

***

Selepas Isya’ udara dingin semakin menusuk tulangku. Tebalnya sweater yang kupakai tak mampu lagi menjadi benteng tubuhku yang mulai menggigil. 
Ku singkirkan selimut tebal bercorak pastel yang separo menutup tubuhku. Sementara kubiarkan wanita terindah dalam hidupku tertidur lelap. Mungkin perjalanan jauh telah membuat daya tahannya anjlok. Kusimpan letup hasratku. Kubiarkan dia terbuai dewi mimpi.
Perlahan aku berjinjit di atas wood flooring berlapis vernis natural. Segera kuhampiri tas ransel bawaan yang masih teronggok di depan pintu kamar mandi. Pengharum beraroma terapi menyeringai dari balik kamar mandi berlantai batu sabak hitam. Ku jinjing tas dan kutaruh di atas meja kecil di sebelah springbed berlapis anti tungau. 
Sedetik aku membatin. 
Sungguh pemilik penginapan ini sangat memperhatikan kenyamanan tamunya. Hospitality indeed. Hem... 
Aku lepas tali tas ransel depan. Kubuka beberapa lekukan tas. Sebuah catatan kecil pada lipatan terdalam tertangkap di keremangan melalui sudut mataku. Beberapa lembaran-lembaran kehidupan yang sengaja aku jilid spiral tertata rapi. Goresan hidup yang setia menemani perjalananku selama dua tahunan ini. 

Aku nyamankan cara dudukku agar otot-ototku dapat beradaptasi dengan udara kamar. Kopi panas yang disajikan satu jam lalu tak mau beranjak di atas meja. Aku minum beberapa tegukan meski sudah membeku dingin. Tak apalah. 

Mulai kumainkan lembar demi lembar catatan kecil dengan jemariku. Sesekali aku timpali dengan boolpoint warna merah untuk membukanya. Tiba dihalaman yang aku tekuk menjadi lipatan segitiga. Aku buka lipatan. Nafasku menghela dalam. Terbang anganku, teringat setahun yang lalu aku pernah tuliskan sebuah tulisan ‘love and betrayal’ tentang cinta dan pengkhianatan. 
Aku cermati beberapa larik kalimat di bawahnya, “Hujan ini adalah tangisku yang luruh ke permukaan bumi. Ketika reda bahagiaku mengangkasa. Sementara hanya kudapati kepompong kupu yang kosong di telapak tanganku. Terbang ia dan tinggalkan aku sendiri. @sadness room10/2008."
Dua minggu menjemput tanggal lamaran yang telah ditetapkan kedua orang tuaku dan besan kulampiaskan tulisan itu. Aku tak bisa elaki. Pertemuan ustad/ustazah dengan agenda pemilihan ketua baru Forum Komunikasi Ustad/zah TPA satu kecamatan sore hari itu membuat rancu pikiranku. Aku hanya bisa menyimak dia terduduk bisu dari kejauhan. Seumur hidup aku tak bisa menikahinya, marahku dalam hati. Haruskah... 

Setiba di rumah kontrakanku segera kusalin ke layar handphone. Tanpa berpikir panjang aku kirimkan kepadanya. Seseorang yang sejatinya aku cintai dan sangat ingin aku nikahi. 
Sebenarnya banyak amanah agar aku bisa memimpin malaikat-malaikat kecil di Taman Pendidikan Al Quran untuk dua tahun ke depan sore itu. Tapi tak mungkin aku terima. Aku berdalih akan segera pergi jauh. Tepatnya menikah. Dia hanya menunduk terdiam ketika mendengar alibiku. Demi sang penguasa hati, bukan sebuah amanah yang aku pikirkan saat itu. Tapi sebuah malapetaka atas kebahagiaanku di esok hari. Aku ngeri membayangkan. 
Berkecamuk pikiran di otakku. Aku tidak boleh berbuat gila dengan membatalkan lamaran itu. Tapi aku tak mungkin menikah tanpa cinta. Menjadi tumbal kemauan orangtua bukanlah impianku. Aku tak mau prahara kesalahpahaman bahkan fitnah atas adanya diriku mengubur kebahagiaanku sendiri. 

Seminggu berkutat pada peliknya pusara masalah membuat jasadku mengering. Makan dan minum tak lagi menjadi nutrisi hidupku. Aku membiarkan tubuhku membusuk dengan ketidakpastian masa depanku. 
Tepat di hari ketujuh aku jatuh pingsan. Dokter memvonis terjadi komplikasi intestinal karena anoreksia. Harus segera ditangani segera. Karena telah terjadi pendaharan dan perforasi (perlubangan) di daerah usus. Aku hanya bisa pasrah. Live is unworth. Bertubi-tubi injeksi menohok kulitku. Selang infus melilit tubuhku. Aku menyerah. Masa depan tak lagi bisa membuatku untuk bertahan hidup.

***

Pesan pendek melalui handphone yang aku kirimkan beberapa hari sebelumnya tak terjawab. Mungkin murkanya padaku melebihi anggaraku pada diriku. Masih kusimpan satu amplop coklat berisi tumpukan kertas darinya. Amplop coklat itu aku terima lewat pos di tempat kerjaku beberapa hari sebelum aku terpenjara di rumah sakit. Perjalanan kisah ku bersamanya sejak perkenalan tahun 2006 tertuang dalam lembaran-lembaran kertas itu. Aku takjub atas cintanya. Karena setiap detik rasa yang tumbuh dikanvaskan secara apik dalam beratus coretan-coretan tangan. “Mereka mungkin bisa lupa apa yang kita katakan, namun mereka takkan pernah melupakan perasaan yang pernah kita timbulkan dalam hati mereka.” Itulah akhir tulisan di amplop besar itu. Aku hanya bisa mendekapnya. Dan bersujud pada Tuhan, bila takdir ini tak menuju padanya, semoga dia bisa memaafkan aku. Kelak, entah kapan. 

***

Hampir satu jam berlalu. Dingin perbukitan semakin menggelora. Lembar demi lembar catatan kecilku dalam jilidan spiral hitam tuntas kusimak dengan senyuman kecil. 

“Setiap orang berhak menerima sesuatu atas apa yang ia yakini, cintai, korbankan, dan perjuangkan. Bila ia mendapat apa yang diharapkan, itu menjadi sebuah kehormatan. Namun jika Allah berkehendak lain maka diperlukan sebuah keikhlasan”. 

Tulisan itu menutup lembaran demi lembaran catatan kecilku di penghujung Oktober 2008. Akankah kelak aku terima sebuah kehormatan atau aku belajar untuk lebih ikhlas menjalani hidup. 
Segera aku matikan lampu duduk dan aku redupkan kamar. Kutenggelamkan diri dalam nama-Nya setelah kucium kening sang bidadari.

***

Sungguh pagi yang cerah. Nyanyian burung menghentak alam perbukitan Kaliurang. Dingin pagi tak menyurutkan aku dan bidadariku untuk mengayun langkah. Sesekali sinar matahari pagi menimpali langkah-langkah kecil kami. Chemistry yang aku harapkan mulai nampak terbangun dengan melewati banyak perempatan, menuruni lembah, dan mendaki pada ketinggian bukit di lereng Merapi. Bergandeng tangan menuju keabadian cinta.
Sempat mampir di warung nasi goreng. Ibu penjual nampak ramah menyapa kami. Sambil mengiming-imingi jadah bakar dan tempe hitam legit dia sibuk menyiapkan beberapa cangkir kopi panas. Akhirnya kami sepakat untuk mengambil beberapa kotak jadah beraneka rasa. Dan melanjutkan pagi kami.

***

Air wudhu masih membasahi keningku. Ku ambil waktu dhuha untuk beberapa saat. Kulihat dia kembali tertidur lelap. Dan aku segera kembali bersujud pada-Nya.
Tiba-tiba tubuhku limbung. Jasadku meluruh tak berdaya. Ya Tuhan, selintas tergambar jelas semua peristiwa hidup yang pernah aku jalani. Sakit kepala hebat kembali menyerangku tanpa kabar. Sakit luar biasa itu kambuh lagi setelah sekian lama tertidur panjang. Really painfull... Tak tertahankan. Aku membenturkan kepala ke lantai. Kepalan tanganku ku lempar keras. Aku semakin melihat jelas semua peristiwa dalam hidupku. Dosaku, durhakaku, kebusukanku, kebohonganku, bejadku, hingga rasa benciku pada Tuhan atas hunjaman seluruh derita terlintas. Duabelas tahun tahun bergelut dalam kemiskinan harta bersama kedua orang tuaku, dua kakakku yang telah bercerai, dan lima keponakanku kembali menyeruak. Semua datang kembali. Homeless is hurting me. Harus tersingkir dari kampung halaman dengan keadaan dihinakan membuat aku sakit. Aku benar-benar tak kuasa menahan tubuhku. Hingga menjerit tangis. Sakit mendera. Aku mengamuk dan kemudian terjatuh.
“Mas, sadar mas!!!!” Dia meloncat dari ranjang kemudian membetot tanganku dengan sekuat tenaga.
Tangisku semakin bergemuruh keras. Namun tak henti dia menuntunku dengan istighfar dan terus menyebut asma-Nya. Aku meraung keras. Menangis hingga aku tak sadarkan diri. Astaghfirullahhaladzim...
Sela setengah jam kemudian aku tersadar. Aku tertidur di atas ranjang dengan berselimut bed cover tebal. Matikah aku? Dimanakah aku?
“Mas... .” ada suara lembut memanggilku. Aku berusaha keras mencari dalam kabur penglihatanku. Pada detik keberapa aku menemukan jelas wajahnya. 
Aku menghela nafas panjang. Kembali menitikkan air mata. Aku bertanya apa yang terjadi.
Dia mengangguk. “Mas, tadi melakukan pertobatan.”
“Pertobatan?” tanyaku. 
“Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan diri mas. Tapi dalam keadaan tidak sadar, mas melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan orang yang memohon ampun atas segala dosa.” 
Subhanalloh... Iyakah? Gumamku dalam hati.

Aku pandangi orang yang teramat aku inginkan dalam hidup ini. Dalam hati aku berbisik, “Ya Allah, matur suwun pada-Mu. Kini benar-benar Engkau kirimkan bidadari padaku. Yang bisa mencairkan aku dalam keras. Mendinginkan aku dalam marah. Atas jiwaku yang kadang sakit atas trauma hidup berkepanjangan. Ya Allah, terimalah tobatku. Ya Rahman... Ya Rahim... Ya Ghafur... Dia yang dulu pernah aku khianati. Aku kecewakan. Benar-benar sebuah KEHORMATAN kini aku bisa menikahinya. Mendampingi hidupku untuk selama-lamanya”

***

Hari beranjak siang. Saatnya aku harus kembali ke rumah singgahku. Ku akhiri catatan kecilku di Kaliurang. 


Kutunggu hingga akhir Desember 2008.
Tidak ada lamaran teruntuk orang yang sungguh mencintaiku. Pilihan Orang tuaku.
Kepadanya kutitipkan kata maaf. Karena cintaku tak tertuju padanya. Namun sampai kapan pun aku tetap menghormatinya.

Dan kini aku telah bertahta dengan wanita yang kucinta. Meski dia sempat terluka. 
Yaa Rabb... Ampunilah aku. Karena kesempurnaan hanya milik-Mu.
Sementara jika aku mencari arti sebuah kesempurnaan dunia.
Ia takkan pernah aku jumpai.
Bahkan pada orang yang aku cintai. 
Apalagi pada orang yang menaruh hati padaku sedang aku tak cinta. 

Semakin aku cari arti sebuah arti kesempurnaan. 
Yang ku dapati hanya rasa ingin mengetahui ketidaksempurnaannya. 
Itu akan membuatku sakit!! 
Sesungguhnya kita telah diciptakan berpasang2an. 
Hidup di antara kekurangan dan kelebihanku dan pasanganku sampai ajal memisahkan itulah sebuah arti kesempurnaan.

Karena bagiku, setiap helai daun mempunyai cerita. 
Kapan ia bersemi, mencabar kaki daunnya, 
Kemudian layu, menguning langitnya, dan terhempas angin. 
Begitu pula dengan cinta… 
Namun cerita cintaku bukanlah laksana daun yang bertumbuh di pucuk ranting pepohonan. 
Karena karena cintaku pada bidadariku laksana akar yang menancap di bumi. 
Meski daun, buah, dan batang kayuku mati dan terhempas. 
Aku tetap MENANCAP dan TEGAK berdiri. 
Entah sampai masa kapan angin menguburku. Hingga aku ber-evolusi menjadi fosil bebatuan.
Karena gumpalan cinta ini akan terjaga. 
Menunggumu di perjamuan surga. 



Here's to a happy life together with Sahabat Terkasih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP